Pages

Jumat, 28 Oktober 2011

Walikota Bandarlampung Apresiasi CSR Sido Muncul






Walikota Bandarlampung Herman HN secara simbolis menerima bantuan operasi katarak 100 mata dari PT Sido Muncul bagi warga Lampung, khususnya Bandarlampung, Jumat (28/10). Bantuan tersebut sengaja digulirkan sebagai pencanangan program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Sido Muncul tahun 2011.

Dalam sambutannya, Herman HN berterimakasih atas bantuan yang diberikan produsen jamu terbesar di Indonesia tersebut. Ia berharap kegiatan sosial kemasyarakatan semacam ini terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya, demi membantu masyarakat yang kurang mampu.

Dikatakannya, Pemkot Bandarlampung juga cukup konsen dengan masalah kesehatan masyarakat, sehingga menggulirkan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bagi warga pra sejahtera. Dalam hal ini, setiap keluarga miskin telah diberikan kartu Jamkesda yang bisa digunakan untuk berobat gratis, baik di rumah sakit milik pemerintah maupun rumah sakit swasta.

Terkait operasi katarak yang diberikan PT Sido Muncul, Herman HN menghimbau agar masyarakat dapat memanfaatkannya sebaik mungkin, dan tidak perlu takut menjalani operasi yang akan ditangani dokter-dokter spesialis mata di Rumah Sakit DKT Lampung tersebut.

“Tidak perlu takut menjalani operasi. Yakinkan bahwa bapak-ibu sekalian harus sembuh. Karena hanya dengan operasi, penyakit ini bisa disembuhkan. Semoga bapak-ibu sekalian bisa melihat lagi dan bisa menjalani aktifitas sehari-hari seperti sedia kala,” ujarnya.

Sementara itu, Senior PR Manager PT Sido Muncul, Nanik R Sunarso, mengatakan bahwa program ini dipilih Sido Muncul karena melihat jumlah penderita katarak di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Setiap tahunnya, lebih dari 240 ribu penderita katarak terancam mengalami kebutaan.

“Sido Muncul melalui produk Tolak Angin dan Kuku Bima Energi berupaya mengkampanyekan perkembangan buta katarak di Indonesia melalui iklan layanan masyarakat di sejumlah stasiun televisi, dimana dalam tayangan tersebut tercantum pula nomor rekening agar masyarakat yang ingin berpartisipasi dapat langsung mentransfer dana melalui Gerakan Mata Hati,” paparnya. (Jaya)

Sido Muncul Gelar Operasi Katarak





Lebih kurang 100 orang mengikuti operasi katarak gratis yang digelar PT Sido Muncul di Rumah Sakit DKT Lampung, Jumat (28/10). Kegiatan ini merupakan program lanjutan yang dicanangkan produsen jamu terbesar di Indonesia tersebut di tahun 2011 ini.

Senior PR Manager PT Sido Muncul, Nanik R Sunarso, mengatakan bahwa bantuan operasi katarak gratis ini merupakan pencanangan program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Sido Muncul tahun 2011dengan target 6000 operasi katarak bagi warga kurang mampu di seluruh Indonesia.

“Program ini dipilih Sido Muncul karena melihat jumlah penderita katarak di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Setiap tahunnya, lebih dari 240 ribu penderita katarak terancam mengalami kebutaan,” ujarnya.

Untuk itu, kata dia, Sido Muncul bekerja sama dengan Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI), Gerakan Mata Hati (GMH), dan Palang Merah Indonesia (PMI), melalui rumah sakit akan terus memberikan bantuan pengobatan katarak, paling tidak sepanjang tahun 2011 ini.

Selain itu, imbuhnya, Sido Muncul melalui produk Tolak Angin dan Kuku Bima Energi berupaya mengkampanyekan perkembangan buta katarak di Indonesia melalui iklan layanan masyarakat di sejumlah stasiun televisi, dimana dalam tayangan tersebut tercantum pula nomor rekening agar masyarakat yang ingin berpartisipasi dapat langsung mentransfer dana melalui Gerakan Mata Hati.

Terpisah, Dirut PT Sidomuncul Irwan Hidayat mengatakan, pihaknya berharap dengan bantuan operasi katarak ini pasien bisa beraktifitas seperti sedia kala. Karena hanya melalui operasi, katarak bisa disembuhkan.

PT. Sidomuncul yang pada 11 November mendatang merayakan hari jadinya yang ke-60 tahun, saat ini memiliki produk-produk unggulan antara lain Kuku Bima Energi, Tolak Angin, Jamu Komplit, Kunyit Asam, Kuku Bima Kopi Ginseng, Kopi Jahe Sido Muncul, dan yang terbaru adalah produk Jahe Susu Sido Muncul. (Jaya)

Kamis, 27 Oktober 2011

Akar-Akar Pohon







Bila anda tak bisa jadi pohon cemara di atas bukit
Jadilah belukar di lembah
Jadilah perdu bila tak bisa jadi pohon
Bila tak bisa jadi perdu jadilah rumput, dan buatlah jalan-jalan jadi semarak
Bila tak bisa jadi gurami, jadilah teri
Tetapi teri yang paling indah di tambak

Kita tak semuanya jadi komandan
Harus ada yang jadi pasukan
Semua ada kepentingan masing-masing
Ada pekerjaan besar, ada pekerjaan kecil
Semua harus dilakukan
Dan tugas yang harus kita kerjakan
Adalah tugas yang terdekat dengan kita

Bila anda tidak bisa jadi jalan besar, jadilah pematang
Bila anda tidak bisa jadi matahari, jadilah bintang
Bukan besarnya yang mengukur anda
Kalah atau menang
Yang penting…
Jadilah wajar dan matang


(Karya: Douglas Malloch)

Rabu, 26 Oktober 2011

Lomba Karya Tulis Jamsostek






PT Jamsostek (Persero) kembali menggelar Jamsostek Journalistic Award (JJA) 2011. Lomba karya tulis yang ditujukan bagi kalangan masyarakat umum, mahasiswa, akademisi, dan wartawan ini memperebutkan total hadiah Rp 111 juta.

Ketua Panitia Pelaksana JJA 2011 Erafzon Saptiyulda mengatakan, tema yang diangkat dalam lomba kali ini adalah tentang Jaminan Sosial dan Perlindungan Terhadap Pekerja. Sedangkan subtema tentang Peranan PT Jamsostek (Persero) dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja.

“Melalui karya tulis yang dimuat di media kampus, online maupun media cetak, diharapkan semua pemangku kepentingan mengenai program jaminan sosial tenaga kerja dapat berupaya dengan cepat mengoptimalkan pelayanan kepada peserta, sekaligus mendorong implementasi SJSN yang menyeluruh,” ujarnya.

Menurut Era, panggilan akrab Erafzon, pelaksanaan lomba ditetapkan dari hasil tulisan yang dimuat pada 1 Oktober sampai 26 November 2011, baik di media cetak, online maupun media kampus (bukti dilampirkan). Panjang tulisan minimal 3.000 karakter yang diserahkan dalam bentuk hard copy dan juga soft copy, serta melampirkan kartu pers dan koran yang memuat artikel perlombaan ke panitia praseleksi, yakni Kepala Urusan Komunikasi Eksternal Biro Humas PT Jamsostek, Kuswahyudi, Lantai 4, Gedung Jamsostek, Jalan Gatot Subroto No 79, Jakarta.

Panitia perlombaan menyediakan hadiah bagi enam karya tulis terbaik untuk setiap kategori. Juara I akan mendapat hadiah uang sebesar Rp15 juta , juara II sejumlah Rp12,5 juta dan Rp10 juta untuk juara III. Sedangkan untuk juara harapan I mendapat Rp8 juta, harapan II sebesar Rp6,5 juta disusul harapan III Rp5,5 juta.

Penjurian dilakukan pihak independen yang juga pakar dan praktisi jaminan sosial, yakni Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) Muji Handaya (wakil dari Kemenakertrans), Dirut Jamsostek Hotbonar Sinaga (wakil dari direksi), pengajar Universitas Indonesia Prof. Tjipta Lesmana (wakil dari akademisi), Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban, dan Direktur International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia Peter van Rooij. Dengan demikian, penetapan pemenang JJA 2011 oleh dewan juri tersebut tidak dapat diganggu gugat siapapun, tutur Era.

Sebagai gambaran, Era menjelaskan, sejak diundangkan 19 tahun yang lalu, peraturan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) seperti harus bermetamorfosa. Ini tidak hanya sekadar melayani pekerja formal yang berada di perusahaan-perusahaan swasta, tapi harus mengembangkan pelayanannya dengan cakupan kepesertaan lebih luas lagi.

Bahkan, jaminan sosial tenaga kerja harus ikut berubah dalam hal sistem pelayanan dan pengelolaan manajemen perusahaan agar mampu mengikuti perkembangan jaminan sosial secara universal, serta memberi manfaat yang lebih baik kepada peserta, ujarnya.

Tidak dapat dimungkiri apabila jaminan sosial yang satu ini dapat diterima oleh kalangan pekerja swasta, meski belum sepenuhnya diterima dengan kelapangan hati dan pikiran oleh para pengusaha sebagai pemberi kerja. Namun, setidaknya dalam perjalanan waktu 19 tahun bahwa jaminan sosial mampu membuktikan memberi perlindungan yang sesungguhnya kepada pekerja khususnya dan masyarakat umumnya.

Apalagi, UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah disahkan, meski belum dilaksanakan secara penuh, tapi setidaknya saat ini tengah dipersiapkan lembaga penyelenggaranya dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menuju sistem jaminan sosial universal. (Rls)

Fatamorgana





( rindu, sayang dan kecewa karna selalu dipermainkan dan tak pernah dianggap ada.
hanya sebagai simpanan yang tak berarti apa-apa…dan kini dibuang seperti sampah yang tak berguna)


kutitip tanya pada angin yang berhembus
dan kukirim keluh yang entah untuk siapa
aku tertatih menyusuri kisah lama
sedang jiwaku terjebak di kesunyian yang purba

aku hanya bisa berdebat dengan diri sendiri
menimbang rasa dan mencari kejujuran hati
salahkah jika gumamku menjadi tanya
sekedar ingin tahu kesungguhanmu atas nama cinta

ah,
gerangan apa  yang ada di benakmu
kau anggapkah aku sebagai tawananmu
atau boneka yang tak punya rasa
yang tak boleh menuntut meski sekedar kerlingan mata

inikah garis nasib dari tanganku
seringan itu kau pergi dengan egomu
menggantung resah pada kasih yang belum nyata
selagi cinta masih berbatas fatamorgana

entahlah.
di batas sunyi yang kian menua
diantara rindu dan segudang kecewa
kembali kutitip tanya pada angin pengembara
            :dimana cintamu waktu itu
rangkaian janji yang sempat mengangkat kalbu
ternyata serupa virus pelumpuh jiwaku

pergilah jika kamu bahagia
biarkan aku menyayangmu dalam doa
akan kusimpan senyummu selamanya
dan mengabadikan kisah kita sebagai sebuah kenangan masa

pergilah jika kamu lebih bahagia
biarkan aku menyayangmu dalam doa
akan kukirim rindu dari jauh atas namamu
meski tak pernah lagi kau pedulikan aku

(Bandarlampung, September 2011)

Perang Kata-kata




Dalam dunia bisnis, persaingan menjadi hal lumrah dari dulu hingga sekarang. Khusus dalam perniagaan, beragam cara akan dilakukan para pelaku usaha demi menjaring konsumen sebanyak-banyaknya. Mulai dari pemasangan iklan, promo denga harga diskon, sampai pemberian hadiah untuk produk tertentu. Semuanya sah dilakukan selama masing-masing pebisnis dapat bersaing secara sehat dan sportif.

Seperti yang dialami Pak Budi. Pemilik toko pakaian itu terkejut ketika seorang saingan baru membuka dagangan serupa di sebelah kiri tokonya. Sebuah spanduk besar pun dipasang dengan tulisan "Pakaian Import".

Terlepas bahwa yang ditawarkan benar-benar pakaian impor atau Cuma “pura-pura” import, yang jelas spanduk itu dapat menarik minat masyarakat untuk berkunjung, minimal melihat-lihat produk yang ditawarkan. Melihat strategi ini, rupanya Pak Budi mulai risau.

Belum tuntas memikirkan tetangga barunya yang menyediakan pakaian import, Pak Budi kembali galau untuk kedua kalinya. Begitu hendak membuka toko pada esok harinya, pesaing lain menyewa ruko di sebelah kanannya. Sama dengan tetangga sebelah kiri, yang ini pun mencari peruntungan dengan berbisnis pakaian, dan memasang spanduk promosi pula. Bahkan ukurannya jauh lebih besar, lengkap dengan tulisan "Harga Termurah ".

Pikiran Pak Budi semakin kacau. Bayang-bayang kalah saingan dan usahanya mengalami kemunduran, terus berkelebat di benaknya. Pak Budi pun mulai depresi. Sempat terpikir untuk memasang iklan di media cetak atas usahanya, namun diurungkan karena ia menilai upaya itu kurang efektif.

Setelah merenung, akhirnya Pak Budi menarik kesimpulan bahwa ia harus ikut bermain kata-kata. Jika toko kedua tetangganya bisa ramai pengunjung hanya dengan memasang kalimat dalam spanduk, ia yakin bisa menciptakan ‘sugesti’ yang lebih dahsyat.

Hari berikutnya, dengan keyakinan penuh, Pak Budi pun memasang spanduk dengan ukuran lebih besar dari kedua pesaingnya. Tulisannya pun tebal menggunakan huruf balok, sehingga dari jauh orang sudah bisa membaca; “MASUKNYA LEWAT SINI".

Jiiiaaahhhh…

Beberapa orang yang lewat terlihat cekikikan namun berusaha ditahan. Emangnya pengunjung gak tau jalan? Kecuali pintu masuk kedua toko saingan itu dipasang portal, pak. Di sudut toko, putra Pak Budi hanya bisa tersenyum kecut sembari bergumam lirih, ”Duh, bapakku gak punya ide lagi. Terlalu stress rupanya."

(terinspirasi dari cerita Zhulkifli H. Chaniago - Makassar)

Kamuflase




(untuk dokter “NH” yang tetap kuanggap sahabat)
tak cukup mendengar dengan telingamu
kau bahkan mengamati setiap gerak bibirku
kau seperti tunarungu
mengerahkan segenap indra untuk meyakinkan hatimu

kau anggap semua orang lacur
sekian kali kau ingatkan aku untuk selalu jujur
padahal hatimu lembut seperti bubur
            secuil garam kau bilang keasinan,
            sejumput merica kau bilang kepedasan,
            bahkan pucuk tebu pun kau bilang kemanisan
lalu kenapa kau ingin semua bumbu dituangkan
bukankah lidah tiap orang berlainan

ingatkah ritualmu hingga waktu terakhir
kau telpon aku sebelum pertemuan berlangsung
kau hardik aku agar tak perlu berdandan
dan aku pun menemuimu dengan telanjang…
            sempat kudapati butir embun di matamu
            sebelum kau beranjak tanpa meninggalkan kata
            sebelum kusadari siapa dirimu
            :sejak kapan kau menjadi badut di pentas sandiwara itu

(Bandarlampung, 15-9-2010)

Penyesalan




(untuk “pemain cinta” yang tak tahu cinta)
di gudang tua itu seorang pustakawan bergumul peluh
mencari sesuatu diantara tumpukan kitab-kitab
menyingkirkan kutu-kutu yang berebut lembaran buku dengan rayab
lalu menggebuk wekker yang setia mengingatkan waktu untuk istirahat

kenapa keras kepala
ini adalah hal serius yang telah kau sepelekan
tak semestinya melupakan jika senyumnya masih membayang
tak seharusnya mengabaikan jika masih ingin dikenang

kitab itu ternyata sudah dibeli tukang rongsokan
lengkap dengan petinya dan semua yang terkait
kini apalah guna mengumbar tangisan
pemilik baru tak mungkin menukarnya dengan dompetmu yang berduit

mungkin itu yang bisa kau lakukan
memungut cerita lain kendati tak pernah kau inginkan
di depanku kau bacakan lembar demi lembar dengan sukacita
di belakangku kau meringis menahan luka dan kecewa

(Bandarlampung, 1-10-2010)

Iseng



(untuk sesama ‘badut’ yang sempat kukenal)

seperti anak-anak yang bertemu di taman,
yang kita pikirkan hanya kesenangan hati

aku tahu kita hanya bermodal nekad
tidak seperti nelayan lain yang membangun perahu dengan serius
kita bahkan diam-diam membawa dayung dari `rumah masing-masing
kemudian iseng berlabuh dengan biduk kanebo yang rapuh

kau ternyata berat meninggalkan pantai
nelayan di sebrang mengatakan, kau masih sering menoleh ke belakang

kau dekap erat dayungmu dan menerawang jauh ke sebrang lautan
gurat wajahmu berharap, yang di sana marah dan memanggilmu untuk kembali pulang

sungguh!
aku sendiri tak punya waktu menyimak sikapmu
bukan terlalu serius membawa biduk sampai tujuan,
tapi terlena menyimak kidung camar yang mendayu
aku mencari tahu dengan nuraniku
adakah diantara liriknya terselip pesan yang kurindukan

dengarlah itu!
celoteh camar beradu dengan teriakan nelayan
“Jangan lama-lama berlayar. Kucing yang di rumah merindukan ikan!”
“Sekali berlayar jauh, kau pasti tak kan kelihatan!”
akhirnya biduk kita karam di tepi lautan

camar dan nelayan pun pergi dengan raut mata iba
tinggal kau dan aku yang berkemas untuk pulang
kembali ke rumah yang sempat disapu gelombang

(Bandarlampung, 23-9-2010)
<2X82=2

Pentas Ego




(untuk “adikku” sang kepala satpam)

Tanpa mengetuk saran dari orang lain, kau ciptakan panggung dengan ilhammu sendiri. Bahkan kau tulis alur cerita sesuai hatimu. Kau ingin menguasai pentas itu. Ingin menjadi pemain tunggal, tanpa menghargai bakat lain di sekitarmu. Kau lupa bahwa paling tidak pertunjukan itu tetap butuh figuran.

Lihatlah. Di sudut ruangan itu lawan mainmu menjadi penonton. Diam. Terpasung. Kemudian mengulum senyum melihat lakonmu yang amburadul. Ternyata hanya bisa kau perankan bagian pembukanya. Tak lebih, tak bisa mencapai klimaks seperti yang kau harapkan.

Bukankah ini cerita yang kau tulis. Tak bijak merubah kisah di atas pentas. Kenapa menyesali karya sendiri. Lawan mainmu sudah tertidur pulas di kursi penonton. Tak mungkin lagi beradu bakat di panggung bersamamu. Pentas itu hanya milikmu.

“Maaf, aku hanya berperan sesuai skenariomu.”

(Bandarlampung, 18-9-2010)

Selasa, 25 Oktober 2011

Insiden di Pesawat

Beberapa waktu lalu, sewaktu di dalam pesawat dari Bandara Polonia Medan menuju Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, makanan nggak putus-putus. Kenyang banget. Alhasil, perut pun protes minta dibongkar pula. Pergilah aku ke toilet, tapi toilet pria ada orangnya. Aku pusing, mukaku mulai pucat karena menahan BAB.
Untung ada salah seorang pramugari yang baik hati. “Nggak apa deh, mas. Pakai saja toilet wanita. Tapi jangan asal menekan tombol-tombol di dalamya. Begitu keluar, langsung disiram saja,” ujar si pramugari.

Aku pikir, memang lain toilet wanita. Tempat itu sangat banyak tombol-tombolnya. Ada tulisan WW, WA, PP, dan ATR. Dalam hati tambah penasaran, apalah guna tombol-tombol itu. Sambil BAB, tangan ini nggak tahan untk mencoba. Aku tekan tombol WW, langsung sroott…. Keluar air hangat-hangat kuku menyemprot pantatku.
“Ahaii, ini artinya Warm Water untuk cebok, cin,” kataku dalam hati. Tambah penasaran, aku tekan tombol WA. Whuussss…, langsung keluar angin hangat supaya pantat kering. “Mmm… WA ini artinya Warm Air. Makanya perempuan tahan berlama-lama di toilet. Enak juga, sih...”
Lanjut tekan tombol PP, langsung keluar bantalan bedak (powder puff) membedak pantat yang sudah kering. Makin heran, tapi aku ketawa sendiri. “Eei! Hheyalah... kurang ajar. Kalau di Negaraku (macam negaranya ada aja. Wkwkwk….) muka yang dibedak. Di sini pantat pun dibedakin juga…”

Terakhir, tanpa ragu lagi, aku tekan tombol ATR. Gubraaakkkk.… Aku langsung jatuh terlentang tak ingat apa-apa lagi. Pingsan !!!! Pas sadar, aku sudah berada di rumah sakit.

Aku tanya perawatnya dengan pikiran yang masih bingung.
“Gini, mas. Sesuai hasil investigasi, waktu itu mas menekan tombol ATR. Artinya Automatic Tampon Removal, dimana fungsinya untuk melepaskan pembalut secara otomatis. Ini akibatnya, mas. Karena mas nggak pakai pembalut, maka secara otomatis yang ditarik “anunya” mas. Copot, deh!”
(Terinspirasi dari cerita Teuku Chaidir Rudiansyah-Medan)

Senin, 24 Oktober 2011

Introspeksi

Kita sering kali menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada diri kita. Karenanya, tidak salah jika banyak yang beranggapan bahwa semua orang memiliki sifat egois. Hanya kadarnya saja yang mungkin berbeda.
Jika kita mau merenung, rasanya tidak ada gunanya menyalahkan orang lain. Belum tentu juga mereka yang salah. Lebih baik kita introspeksi diri, jangan-jangan semua yang kita alami justru berawal dari kesalahan kita pribadi.
Ingat, ketika kita menunjuk orang lain dengan 1 jari telunjuk, kita tidak pernah sadar bahwa sebenarnya 3 jari kita yang lain justru menunjuk diri sendiri. Karena itu, mari banyak-banyak melakukan introspeksi. Pesan ini tentunya bukan saya tujukan untuk siapa, melainkan lebih utama untuk diri saya sendiri yang masih terus belajar memahami hidup untuk menjadi 'manusia' yang lebih baik. Amin...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes