(untuk dokter “NH” yang tetap kuanggap sahabat)
tak cukup mendengar dengan telingamu
kau bahkan mengamati setiap gerak bibirku
kau seperti tunarungu
mengerahkan segenap indra untuk meyakinkan hatimu
kau anggap semua orang lacur
sekian kali kau ingatkan aku untuk selalu jujur
padahal hatimu lembut seperti bubur
secuil garam kau bilang keasinan,
sejumput merica kau bilang kepedasan,
bahkan pucuk tebu pun kau bilang kemanisan
lalu kenapa kau ingin semua bumbu dituangkan
bukankah lidah tiap orang berlainan
ingatkah ritualmu hingga waktu terakhir
kau telpon aku sebelum pertemuan berlangsung
kau hardik aku agar tak perlu berdandan
dan aku pun menemuimu dengan telanjang…
sempat kudapati butir embun di matamu
sebelum kau beranjak tanpa meninggalkan kata
sebelum kusadari siapa dirimu
:sejak kapan kau menjadi badut di pentas sandiwara itu
(Bandarlampung, 15-9-2010)
0 komentar:
Posting Komentar